Made Sudira alias Aridus |
Adapun isi status tersebut adalah ""Pagi ini, setelah acara megobedan atau mesangih, baik di rumah masing masing pengiring maupun secara massal di Payadnyaan, terkait upacara memukur di Puri Agung Jro Kuta Denpasar, sore ini dilanjutkan dengan upacara Ngangget Don Bingin. Sayang, acara tidak lagi bisa dilaksanakan di tempat biasa seturut tradisi karena pohon beringin bernilai sakral tersebut dipangkas habis daun dan rantingnya, entah alasan apa? Ada yang berasumsi mungkin orang penting yang kini berumah jabatan di sana tidak ingin terusik ketenangannya. Ohh begitukah? Inikah cermin sikap ajeg Bali termutakhir?"
Status ini yang kemudian dinilai sebagai ungkapan kebencian atau hate spech oleh pihak Mahendra. Atas kejadian ini Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET) dan Sloka Institut langsung angkat bicara. SAFENET merupakan jaringan di Asia Tenggara yang berpusat di Jakarta, Indonesia. Sejak berdiri pada 27 Juni 2013, kami aktif mendampingi para pengguna Internet yang dijerat menggunakan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adapun Sloka Institute merupakan organisasi masyarakat sipil yang bekerja di bidang pengembangan media, jurnalisme, dan informasi yaang berkantor di Denpasar, Bali. Sejak 2007, Sloka Institute melakukan advokasi keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi terutama melalui Internet melalui siaran pers pada Minggu, 17 Juli 2016.
Adapun pernyataan SAFENET dan Sloka Institut adalah, Pertama Status yang dibuat oleh pengguna Facebook Aridus Jiro merupakan bagian dari penggunaan hak untuk berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 28E. kedua, Pelaporan oleh Kabiro Humas Pemprov Bali terhadap Aridus Jiro terkait status di Facebook bukanlah tindakan yang tepat.
Jika memang status tersebut dianggap tidak benar, maka Gubernur Bali ataupun pihak Pemprov Bali sebaiknya memberikan jawaban atau komentar pada status tersebut sesuai dengan sifat media sosial di mana ruang jawab telah disediakan oleh teknologi informasi tersebut.
Ketiga, Pemidanaan dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan ultimum remedium yakni upaya paling terakhir setelah upaya mediasi dan solusi konstruktif lainnya dicoba untuk mencari jalan keluar kekeluargaan. Perlu menjadi pertimbangan bahwa pasal 27 ayat 3 UU ITE telah banyak memidanakan paling tidak 180 netizen dan menimbulkan efek jeri (chilling effect) atas ekspresi yang merupakan pilar utama demokrasi.
Oleh karena itulah, kami mengimbau agar kedua belah pihak menahan diri untuk tidak melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum dan melakukan mediasi untuk menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan.
Kami percaya bahwa tulisan seharusnya dijawab dengan tulisan, bukan dengan tuntutan menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE sekaligus sebagai pendidikan untuk publik. Demikian imbauan kami kepada kedua belah pihak dengan harapan bisa menjadi pertimbangan dalam proses-proses selanjutnya.
Sumber,semetonnews.com
No comments:
Post a Comment