Skip to main content

Menelusuri Situs Siwa Lingga Di Gunung Raung

Situs Siwa Lingga di Gunung Raung

Menelusuri jejak-jejak peninggalan Hindu di Lereng Gunung Raung


SEJARAH SINGKAT PERJALANAN RSI MARKANDEYA
Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke 8 Masehi, pada saat Rsi Markandeya menginjakkan kakinya di Pulau Bali ini.
Rsi Markandeya adalah seorang Pendeta Hindu Siwa Tattwa yang merupakana aliran yang diyakini oleh mayoritas masyarakat India pada saat itu terutama ditempat asal beliau yaitu India Selatan. Dalam catatan perjalanannya (Lontar Markandeya Purana), dapat diketahui bahwa Rsi Markandeya pertama kali menetap di Gunung Dieng yang termasuk kerajaan Mataram Kuno (Mataram Hindu) Jawa Tengah yang pada saat itu dibawah pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu melanjutkan pemerintahan Wangsa Syailendra yang beragama Buddha. Kemungkinan pada saat itu terjadi suatu peristiwa alam yang luar biasa yang memaksa pusat kerajaan Mataram ini dipindahkan kewilayah Jawa Timur sekarang. Ada dugaan kuat pada masa tersebut terjadi letusan gunung berapi yang sekaligus juga menimbun Candi Borobudur dan juga Candi Prambanan.
Rsi Markandeya juga berpindah ke arah Timur mengikuti pergerakan penganut agama Hindu ke arah Jawa Timur, yang kelak membentuk kerajaan Medang Kemulan yang didirikan oleh Mpu Sendok.
Rsi Markandeya meneruskan perjalanannya menuju ke Gunung Rawang yaitu sebuah gunung yang tertinggi yang terletak paling Timur di wilayah Jawa Timur. Dalam perjalanan pertamanya Rsi Markandeya mengalami kegagalan, karena Beliau diganggu oleh Harimau / Macan Putih yang menunggu hutan Gunung Rawang. Dalam perjalanan berikutnya Rsi Markandeya beserta pengikutnya berhasil menaklukkan Harimau / Macan Putih tersebut yang kemudian diikat dengan rantai dan kemudian dipenjarakan di puncak Gunung Rawang. Harimau / Macan Putih tersebut selalu berontak dan meraung-raung yang suaranya menggema menggetarkan bumi sampai terdengar kedesa-desa disekitar Gunung Rawang. Karena kejadian tersebut, maka Rsi Markandeya mengubah nama Gunung Rawang menjadi Gunung Raung. Dan masyarakat sekitar Gunung Rawangpun juga menyebut Gunung tersebut adalah Gunung Raung, karena adanya suara Harimau / Macan Putih yang meraung-raung.
Pada saat bermukim di Gunung Rawang yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung, Rsi Markandeya beserta pengikutnya mendirikan tempat suci untuk memuja Siwa (Tuhan dalam Siwa Tattwa).
Setelah beberapa saat bermukim di Gunung Rawang yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung, Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalannya ke Timur. Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya sekarang. Pulau ini masih belum banyak diketahui, sebagian pelaut mengira Pulau Bali merupakan sebuah Pulau yang memanjang yang menyatu dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai kepulauan Nusa Tenggara. Jadi pada masa itu Pulau Bali dan kepulauan Nusa Tenggara dianggap merupakan sebuah pulau yang sangat panjang yang disebut dalam Lontar Markandeya Purana sebagai Nusa Dawa (Pulau Panjang). Pada saat kedatangannya yang pertama dengan pengikutnya sekitar 400 orang mnyeberangi Segara Rupek (Selat Bali). Rsi Markandeya setelah tiba di Pulau Bali,  misi mereka mengalami kegagalan, dimana sebagian besar pengikutnya mengalami kematian ataupun sakit secara misterius yang kemudian menjadi wong samar. Beliau merasakan aura misterius yang sangat kuat menguasai Pulau ini, sehingga Beliau kemudian memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung bersama pengikutnya yang masih tersisa dan bermeditasi (Puja Wali) untuk meminta petunjuk kepada Tuhan (Siwa) agar bisa selamat dalam perjalanannya ke Pulau Bali berikutnya.
Dalam kunjungannya yang kedua, berdasarkan hasil dari meditasinya, Rsi Markandeya beserta pengikutnya sekitar 2.000 orang sepakat untuk pertama-tama melakukan upacara suci / Pecaruan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali. Belaiau memutuskan untuk mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di Pulau ini sebagai tempat yang paling keramat. Mereka kemudian mendaki Gunung Toh Langkir yang sekarang disebut Gunung Agung. Di kaki Gunung itu mereka mengadakan upacara suci yang aktifitasnya berupa penanaman Panca Datu yaitu lima unsur logam yang dianggab paling penting pada masa itu yaitu Emas, Perak, Perunggu, Tembaga dan Besi. Pada saat di ketinggian Toh Langkir tersebut, Rsi Markandeya menyadari bahwa Pulau Bali hanyalah sebuah Pulau kecil sehingga Beliau menganggab bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan menggantinya dengan nama Pulau Bali. Kata Bali sendiri berasal dari bahasa Pallawa yang berkembang di India Selatan. Kata Bali kurang lebih berarti persembahan, mengingat untuk mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus menghaturkan persembahyangan / upacara suci terlebih dahulu, yang dalam perkermbangan selanjutnya kata Bali kurang lebih sama artinya dengan Banten pada masa sekarang ini. Dalam perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di Bali dan menyebarkan agama Hindu. Beliau dan pengikutnya kemudian membuka hutan Taro dan bermukim ditempat yang dikenal sebagai desa Taro yang dianggap sebagai desa tertua di Bali. Di desa tersebut Beliau mendirikan tempat suci yang disebut Pura Murwa Bumi (Permulaan di Bumi Bali) sebagai pura pertama di Bali. Selanjutnya Beliau mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal Pura (Tempat Suci) yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali. Pura lainnya yang erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura Silawanayangsari di Gunung Lampuyang. Beliau juga mendirikan Asrama di Pura Lempuyang tersebut dan disini Beliau dikenal sebagai Bhatara Gnijaya Sakti.
Pada saat sekarang ini dimana masyarakat Bali ingin menelusuri silsilah keluarga mereka, menemukan kawitan mereka (Bhatara Gnijaya) dalam hal ini Rsi Markandeya, dianggab merupakan leluhur dari Klan / Warga Pasek dan menganggap bahwa Pura Lempuyang Madya merupakan kawitan utama dari Warga Pasek.
Dari tinjauan sejarah tidak banyak diketahui tentang peninggalan tertulis dari Rsi Markandeya selain dari pada Lontar Markandeya Purana tersebut dan Pura-Pura peninggalan Beliau. Konon menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya bahwa setelah berhasil mengembangkan agama Hindu di Bali, Rsi Markandeya kembali ke Gunung Raung untuk melanjutkan tapanya sampai Beliau mencapai Moksa ditempat tersebut.

Ditulis kembali Oleh : Mas Tedjo, S. Ag - Banyuwangi.

Comments

Popular posts from this blog

KENAPA PANDITA MPU TAK BOLEH MUNGGAH DI PURA DASAR BHUWANA GELGEL, INI PENJELASAN DARI IDA PANDITA MPU JAYA PREMA ANANDA

Balibangol news,-Sebelumnya di media sosial ramai diperbincangkan mengenai larangan bagi Ida Pandita yang tidak diijinkan untuk muput di Bale Pemiyosan di Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Pada saat itu Ida Pandita tidak diijinkan oleh salah seorang pemangku di Pura itu. Kali ini penjelasan mengenai Pura Dasar Bhuwana Gelgel datang dari Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, hal ini terlihat dari postingan di akun facebooknya yang menulis, ” RAME SOAL SULINGGIH DI PURA DASAR BHUWANA (Postingan di bawah ini sudah diunggah di FB yang normal terpecah jadi 3 postingan mengomentari sebuah video yang mempertanyakan kenapa Pandita Mpu tak boleh munggah di Pura Dasar Bhuwana. Saya jadikan satu di halaman ini, semoga ada manfaatnya. Tujuannya, mari kita tak usah ribut2 soal “ngaturang bhakti”. Kalau ada pendapat lain, silakan, maklum ini kasus sudah sangat lama, mungkin informasi ada berbeda). Pura Dasar Bhuwana awalnya sekali dibangun oleh Mpu Dwijaksara pada tahun Saka 1189 atau tahun 1267 Ma

Aling-aling, Adalah Pembatas Angkul-angkul Dan Pekarangan, Berikut Fungsinya

Aling-aling dengan patung Ganesha Balibangol news, BUDAYA, Kita sering mendengar kata Aling - Aling, namun kita tidak pernah memahami apa sebetulnya makna yang terkandung dalam pembuatannya dan bila mana kita harus membuatnya?. Aling-aling  adalah pembatas antara angkul - angkul dengan pekarangan rumah maupun tempat suci yang berfungsi sebagai penetralisir dari gangguan negatif baik secara sekala maupun niskala. Dahulu di Bali, sebuah aling - aling oleh masyarakat umum, masyarakat biasanya menggunakan kelangsah (daun kelapa kering) atau kelabang mantri sebagai sarana proteksi dari kekuatan negatif dimana sulaman atau ulat-ulatan dari daun kelapa tersebut diletakkan pada aling-aling, namun ada yang menempatkan sebagai penghias aling-aling digunakan sebuah patung yang sebagaimana disebutkan dari kutipan Bale Bengong, patung untuk mempercantik arsitektur Bali. Sebagai pembatas antara angkul - angkul dan pekarangan rumah, biasanya ada yang menggunakan patung Ganesha sebagai si

KETUPAT BALI DAN FUNGSINYA

Membuat Ketupat khas Bali Secara umum ketupat berasal dari janur dan di anyam sampai berbentuk kotak pada kali ini mari kita mengulas sedikit keunikan ketupat di Bali. Mendengar kata Ketupat pasti kalian akan mengingat pasangannya yaitu sate, satenya tu dimana? Hehehe Berbeda dengan daerah lainnya , Bali mempunyai banyak nama Ketupat seperti di antaranya :  TIPAT BEKEL - Bentuknya sama sepeti ketupat pada umumnya yaitu seperti ketupat yang sering di jumpai saat lebaran, di Bali ketupat ini biasanya di pakai pada waktu upacara pernikahan upacara odalan namun tidak mengandung arti begitu penting yah namanya aja ketupat bekel dalam bahasa nasional adalah bekal seperti ( sebungkus nasi), cara membuatnya cukup gampang dengan mengambil smbil sbuah janur kemudian diraut bagian sisinya biar tipis kemudian hilangkan lidinya biarkan masih di bagian pangkal, janur siap untuk di sulap menjadi ketupat TIPAT TALUH - Bentuknya kecil dan mungkin paling kecil di antara ketupat lainnya b