Aksi demo Cakrawayu tolak sistem Syariah di Bali di Gedung DPRD Provinsi Bali, Renon, Denpasar. |
Berbagai komponen di Bali tolak pariwisata syariah, karena dianggap tidak sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Balibangol news, DENPASAR,-Aksi demo tolak wacana pariwisata syariah di Bali digelar berbagai massa gabungan komponen masyarakat di Gedung DPRD Bali, Niti Mandala Denpasar, Selasa (24/11) siang. Pariwisata syariah dianggap tidak tepat untuk Pulau Dewata, karena selama ini Bali sudah memiliki budaya dengan kearifan lokal bernapaskan Hindu.Komponen masyarakat yang ikut mengutus pentolannya untuk demo tolak wacana wisata syariah di Gedung Dewan, Selasa kemarin, antara lain, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Cakra Wahyu, Gases Bali, dan Buldog (Buleleng Dogen). Intinya, mereka menyampaikan aspirasi ke DPRD Bali supaya meneruskan kepada Presiden Jokowi bahwa Bali tolak berlakunya iwisata syariah.
Pentolan Gases yang ikut dalam aksi demo tolak wacana wisata syariah kemarin, di antaranya, Ketut Resmiyasa. Politisi Gerindra ini adalah Calon Walikota (Cawali) Denpasar ke Pilkada 2015. Ketua KMHDI, I Ketut Bagus Arjana, juga ikut terjun demo. Massa pendemo diterima Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Golkar, Nyoman Sugawa Korry, bersama Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali Nyoman Parta, serta dua anggota Fraksi Demokrat DPRD Bali yakni Ngakan Made Samudra dan Komang Nova Sewi Putra.
Ketua KMHDI, Ketut Bagus Arjana, menyatakan aksi demo ini digelar untuk menolak wacana pengembangan pariwisata syariah di Bali. "Menurut kami, pariwisata syariah tidak cocok dikembangkan di Bali, karena tak sesuai dengan kearifan lokal. Bali selama ini telah memiliki budaya sendiri yang sudah dikenal di mancanegara, tanpa perlu diubah lagi," ujar Bagus Arjana.
Paparan senada juga disampaikan Pembina Cakra Wahyu Badung, I Nyoman Gede Suma Arta. Dia menegaskan, Bali selama ini sudah damai dengan turis yang ingin menikmati adat dan budaya bernapaskan Hindu. “Brandingnya Bali sudah jelas, pasarnya juga jelas. Bali mendatangkan triliunan rupiah untuk Indonesia yang bukan hanya dinikmati penduduk beragama Hindu saja. Kalau pariwisata syariah dibawa ke Bali, itu tidak tepat,” tandas Suma Arta.
“Kami minta Bapak-bapak di DPRD Bali tegas menolak dan memperjuangkan aspirasi ini ke pusat. Mari jaga Bali. Kami juga akan menghormati pemberlakuan syariah di daerah luar Bali,” lanjujt Suma Arta.
Suma Arta mengingatkan, Bali justru akan hancur kalau peradaban lain dengan napas ideologi berbeda dibawa masuk. “Dunia saja menjaga Bali. Sekarang malah mau ada ideologi lain. Bali jangan dihancurkan oleh kepentingan segelintir orang. Kami tegas menolaknya. Mari jaga Bali bersama-sama,” kata Suma Arta.
Ketut Resmiyasa juga tegas menolak wacana pariwisata syariah di Bali. Resmiyasa pun sangat menyayangkan di Denpasar dan Badung sudah ada hotel yang terang-terangan berbau syariah. Dia heran, entah bagaimana izin hotel tersebut bisa keluar. “Kami pertanyakan pejabat yang mengeluarkan izinnya. Kami ke sini menolaknya dan minta Pimpinan Dewan untuk menolak,” ujar politisi Gerindra asal Sesetan, Denpasar Selatan ini.
Sementara, Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry menegaskan lembaga legislatif komit dengan pembangunan pariwisata berwawasan budaya dan agama Hindu. Pihaknya juga menolak konsep pariwisata yang bernapaskan syariah. “Sikap kami ini tegas. Komitmen kami menegakan pariwisata bernapaskan budaya dan agama Hindu,” ujar politisi senior Golkar asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng ini.
Sugawa Korry pun berjanji pihaknya akan memanggil tokoh pendidikan dan pengusaha yang melontarkan wacana pariwisata syariah di Bali. “Kami akan panggil orangnya, supaya dijelaskan. Ini penting, karena bagi kami, ini hal sensitif. Tapi, kami berharap persoalan ini diselesaikan dengan hati yang damai,” pinta Sugawa Korry yang juga Ketua DPD II Golkar Buleleng.
Sedangkan Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali, Nyoman Parta, mengatakan wacana pariwisata syariah di Pulau Dewata adalah keblinger (keliru).”Kalau di Papua, pariwisatanya sesuaikan dengan budaya Papua. Kalau di Aceh, sesuaikan kondisi Aceh. Kita hormati pariwisat Nusantara-lah. Nanti saya akan bicara ke pusat, supaya tidak ada pariwista syariah di Bali. Nanti kita akan bicara di sidang paripurna,” tegas Nyoman Parta.
Terkait keberadaan hotel berbau syariah yang berdiri di Denpasar dan Badung, menurut Parta, itu urusan pemerintah setempat. “Itu sudah urusan kabupaten dan kota yang mengeluarkan izin. Bukan, ranah DPRD Bali,” tegas politisi PDIP asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini.
Sementara itu, Gubernur Made Mangku Pastika juga menyatakan tidak setuju jika pariwisata syariah sampai dikembangkan di Bali. Menurut Gubernur Pastika, hal ini menimbulkan potensi keributan. "Saya nggak setuju-lah, malah jadi ribut nanti. Jangan pakai begitu-begitu, sudah tenang-tenang kok," ujar Pastika seusai hadiri sidang paripurna di Gedung DPRD Bali, Selasa kemarin.
Pastika mengakui dengan kondisi pariwisata di Bali seperti saat ini, sebenarnya sudah tenang-tenang dan baik."Janganlah bikin yang aneh-aneh, bikin kacau saja itu. Sudahlah, orang sudah tenang-tenang baik-baik seperti ini," imbuhnya.
Wacana pariwisata syariah sendiri, sebagaimana dilansir Antara, sebelumnya dicetuskan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Muliaman D Hadad, seusai melantik kepengurusan MES Bali, beberapa waktu lalu. Kala itu, Hadad mengatakan di Bali cocok dikembangkan wisata syariah.
"Di Bali cocok, menurut saya, kenapa tidak? Tujuh (7) juta wisatawan domestik dtang ke Bali, di samping 3 juta orang asing. Nah, mungkin saja ada pengusaha di sini yang mempunyai ide bersama Pemda kenalkan itu (wisata syariah)," tandas Hadad.
Menurut Hadad, pariwisata berbasis Islami tidak hanya melulu dikembangkan negara-negara Arab, tapi telah banyak dikembangkan negara di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan, lanjut dia, Thailand baru-baru ini meraih destinasi kesehatan Islami terbaik dunia pada salah satu kegiatan yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
"Ini peluang bisnis yang perlu dimanfaatkan. Di beberapa kota sudah muncul hotel dan layanan kesehatan dan tidak ada maksud lain selain peluang bisnis. Kami tidak sedang berbicara agama, tapi ekonomi," ujar Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini.(sumber)
No comments:
Post a Comment