16 November 2015

Mengenal Sosok Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Made Agung Raja Badung VII

Balibangol news, DENPASAR,- Kamis (5/11) lalu, Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada lima tokoh. Yang membanggakan masyarakat Bali, khususnya Kota Denpasar, Raja Badung, I Gusti Ngurah Made Agung termasuk dalam lima tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional. Inilah buah perjuangan panjang yang dilakukan pemerintah dan masyarakat Kota Denpasar agar pemimpin perang Puputan Badung itu diakui Negara sebagai Pahlawan Nasional.

Situs resmi Pemkot Denpasar, www.denpasarkota.go.id menyebut I Gusti Ngurah Made Agung sebagai Raja Badung VII. Namun, situs www.puriagungdenpasar.com, menyebut I Gusti Ngurah Made Agung yang lahir di Puri Agung Denpasar pada 5 April 1876 sebagai Raja Denpasar VI. Dia dinobatkan pada tahun 1902 saat berusia 26 tahun dan gugur pada 20 September 1906 saat berusia 30 tahun.

Masa-masa kepemimpinan I Gusti Ngurah Made Agung ternyata merupakan masa-masa yang sulit. Kala itu, Belanda sedang bernafsunya untuk menundukkan Badung. Namun, sikap ksatria nindihin gumi yang kuat pada diri I Gusti Ngurah Made Agung membuatnya pantang berdamai dengan Belanda.

Ini dipertegas dengan prolog Puputan Badung sendiri yang menunjukkan betapa sikap Raja Badung yang ketika itu dipegang I Gusti Ngurah Made Agung–selanjutnya dikenal sebagai Cokorda Mantuk Ring Rana—dalam menanggapi sikap pongah Belanda. Tudingan Belanda bahwa rakyat Sanur mencuri isi perahu wangkang Sri Komala milik Cina Banjarmasin, Kwee Tik Tjiang, 27 Mei 1904 ditepis Raja Badung. Permintaan ganti rugi dari pemerintah Belanda ditolak dan Raja Badung memutuskan untuk memilih berperang sampai titik darah terakhir. Pilihan sikap ini pun akhirnya berkonsekwensi gugurnya Raja Badung, para kerabat dan pengikutnya dan hancurnya Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Puri Denpasar jatuh sekitar pukul 11.30 sedangkan Puri Pemecutan jatuh sekitar pukul 16.30.

Namun, kehancuran total puri-puri kerajaan Badung beserta raja dan keluarganya tidak serta merta membuat Belanda bangga. Justru, muncul perasaan berdosa di antara pimpinan-pimpinan Belanda. Kemenangan di kerajaan Badung dianggap sebagai sebuah pembantaian karena pertempuran yang sangat tidak berimbang. Sumber-sumber Belanda menyiratkan betapa mereka menyesali peristiwa tragis di depan Puri Denpasar dan Puri Pemecutan itu.

Betapa tidak, puputan tidak hanya berupa peristiwa tewasnya para pejuang karena diberondong peluru Belanda. Namun, puputan juga sebuah kesetiaan antarpara pejuang. Tak peduli anak, istri, suami, atau lainnya, semua harus mati di medan lagi. Bila bukan di moncong senapan Belanda, maka mereka mesti mati di tikaman keris sesama rekan sendiri. Sungguh tragis dan cenderung mengerikan, memang.

Tak cuma sikap bela pati dalam puputan yang pantas dikenang dari sikap ksatria Cokorda Mantuk Ring Rana, tetapi juga kecintaannya pada sastra. Raja muda yang bersahabat akrab dengan seorang kawi-wiku (pendeta sekaligus sastrawan) Ida Pedanda Made Sidemen ini menulis sejumlah karya sastra seperti Geguritan I Nengah Jimbaran serta Geguritan Purwa Sanghara. Dalam Geguritan Purwa Sanghara, sang raja menyuratkan bahwa bukan sastra, bukan pula mantra atau emas permata yang mampu menolak sanghara atau kehancuran, hanya satu yaitu kesusilaan budi, yang bagaikana perahu yang kukuh yang tiada goyah diterpa angin, yang akan mampu menyeberangi lauitan sanghara.

Dan, I Gusti Ngurah Made Agung menunjukkan dengan jelas bagaimana dirinya tidak goyah dengan sikap untuk tidak mau tunduk di kaki penjajah. Sang raja rela kehidupannya terenggut hanya untuk menunjukkan kepada Belanda, betapa orang Bali memilih lebih baik mati daripada menjilat kaki penjajah.

Sungguh, sebuah pikiran yang begitu cemerlang juga visioner. Terbukti, Bali kini dibekap dalam bayang-bayang kehancuran. Namun, Bali hingga kini tetap merindukan  pemimpin berbudi, pemimpin visioner yang bisa merasakan penderitaan rakyatnya. Sampai di sini, kita sungguh berharap lahirnya pemimpin visoner bertongkatkan sastra seperti I Gusti Ngurah Made Agung.

Karena itu, penghormatan terhadap sosok I Gusti Ngurah Made Agung bukanlah semata-mata pada gelar Pahlawan Nasional. Penghormatan terbesar kepada Raja Badung ini selayaknya ditunjukkan dengan meneladani sikap-sikapnya, terutama tetap menunjukkan kepala tegak di hadapan penjajah Belanda.(sumber)

No comments:

Post a Comment

Mecingklak, Permainan Anak SD Tahun 90an Yang Habis Dimakan Jaman

Foto mecingklak Balibangolnews,- Mecingklak merupakan sebuah permainan menggunakan batu krikil yang dilakukan oleh satu orang atau le...