14 September 2015

Kisah 7 Warga Ini Tidur Beralaskan Tanah, Tinggal di Rumah Tanpa Dinding


Balibangol news, BULELENG - Berpakaian lusuh, Ni Putu Sunarti (20) menyusui anaknya, Kadek Bayu (1) di depan rumahnya di Banjar Pangking Dalem, Desa Ularan, Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali, Minggu (13/9/2015).
Tidak ada dinding pada rumah seluas 6x4 meter itu.
Terpal dan kelambu hanya dibentangkan seadanya sebagai penutup untuk menggantikan dinding, dikaitkan pada pasak-pasak kayu di setiap sudut rumah.
Sunarti menempati rumah itu sejak tiga tahun lalu setelah menikah dengan suaminya, I Komang Subagiasa (19).

Di rumah dengan luas bangunan yang tidak seberapa ini, keluarga kecilnya masih harus berbagi tempat dengan kedua mertuanya, I Made Mukiarta (60) dan Ni Kadek Parmita (42) beserta dua adiknya iparnya, Ni Putu Karmila (13) dan Ni Kadek Citra Juniani (5).
Ada tujuh orang yang menempati rumah tanpa dinding ini.


Mereka menyekatnya dengan terpal menjadi dua bagian ruang.
“Di sini tinggal sama suami sama satu anak saya, tidurnya terpisah sama dua mertua dan adik ipar, mereka tinggal di sebelah. Kalau mertua sudah 10 tahun tinggal di sini, karena nggak ada tempat lagi, ini tanahnya juga masih nyakap,” ucapnya.
Tidak ada perabot di dalam rumah ini.
Di sekat yang ditempati Sunarti beserta suami dan anaknya, hanya terdapat satu meja yang telah rapuh, baju-bajunya hanya dimasukkan ke dalam tas kresek dan ditumpuk begitu saja.
Setiap malam, mereka tidur beralas tanah yang hanya dilapisi terpal, tidak terkecuali anaknya yang masih bayi.
Sunarti memutuskan untuk menikah di usia belia karena tidak ada biaya untuk melanjutkan sekolah. Ia hanya tamat sampai SMP.
Begitupula suaminya yang hanya tamatan SD. Tidak ada pilihan lain selain bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.


“Saya menikah sejak usia 17 tahun, waktu lulus SMP. Karena orangtua saya tidak ada biaya untuk sekolah. Suami saya hanya lulusan SD. Sama juga, tidak ada biaya untuk sekolah, bantu-bantu orangtua kerja untuk sehari-hari,” ucapnya.
Suami dan kedua mertuanya sehari-hari bekerja sebagai pengalap (pemetik) cengkih. Mereka mendapatkan upah Rp 100 ribu per hari.
Uang itu tidak hanya digunakan kebutuhan sehari-hari mereka, tetapi juga untuk biaya sekolah adik iparnya, Ni Putu Karmila yang kini sekolah kelas VII di SMPN 4 Seririt.
“Untuk biaya adik ipar saya sekolah juga, dia nggak dapat beasiswa dari sekolahnya. Waktu SD sekali dapat beasiswa. Kalau dibilang cukup untuk sehari-hari, dicukup-cukupkan saja. Kalau saya nggak bisa bantu kerja karena harus jaga anak dan adik ipar saya yang masih kecil,” katanya.
Perbekel Ularan, I Nyoman Sarjana mengatakan, pada tahun ini keluarga Sunarti telah mendapatkan bantuan bedah rumah dari Dinas Sosial Provinsi Bali atas nama mertuanya, I Made Mukiarta.
Rumah itu akan dibangun di atas tanah pribadinya seluas satu are tidak jauh dari rumah yang ditinggalinya saat ini.
“Tahun ini sudah dapat mereka bedah rumah, di anggaran perubahan ini ada 10 kepala keluarga yang dapat. Bantuan lain seperti beras miskin, BLT mereka juga dapat. Kalau di desa kami prioritaskan memang yang benar-benar miskin seperti mereka yang dapat,” jelasnya.
sumber


No comments:

Post a Comment

Mecingklak, Permainan Anak SD Tahun 90an Yang Habis Dimakan Jaman

Foto mecingklak Balibangolnews,- Mecingklak merupakan sebuah permainan menggunakan batu krikil yang dilakukan oleh satu orang atau le...