Denpasar, - Lembaga pelayanan publik dan kalangan media di Bali diminta untuk turut mendorong pemenuhan hak-hak masyarakat atas informasi dan berita yang benar dan berimbang jauh, dari intervensi kepentingan tertentu. Saat ini media berorientasi pada kepentingan bisnis.
Saya pernah ke beberapa kantor pemerintah, ternyata mereka tidak mengetahui apa isi UU Pers, padahal berapa sih biaya untuk memfoto kopinya- Hari Puspita, Ketua AJI Denpasar Hal itu terungkap dalam Forum Group Discussioan (FGD) yang digelar Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, di Denpasar, Kamis (21/5). Diskusi ini dihadiri berbagai kalangan, seperti jurnalis, LSM, mahasiswa, dosen, Ombudsman Perwakilan Bali, Komisi Informasi Publik (KIP) Bali, pemerintah provinsi Bali dan Pemerintah Kota Denpasar.
Direktur YLPK Bali Putu Armaya mengatakan, latar belakang digelar kegiatan, setelah melihat kecenderungan pemberitaan dan informasi media yang dinilai kurang berimbang dan ada pihak yang merasa dirugikan. Armaya menambahkan, media cetak ataupun elektronik kerap dimanfaatkan oleh kepentingan pemilik modal sehingga berorientasi bisnis namun mengabaikan prinsi-prinsip jurnalistik. “Kami menerima banyak laporan masyarakat yang merasa dirugikan akibat pemberitaan dan informasi media yang tidak berimbang.Kami juga banyak mendapat laporan korban media sosial yang perkembanganya sulit dikontrol,” ujarnya.
Ke depan, lanjut Armaya, pihaknya memandang perlunya ada semacam lembaga media watch yang melakukan fungsi kontrol terhadap pemberitaan media, agar tetap berada dalam koridor etika dan profesi jurnalistik. “Agar masyarakat sebagai konsumen media mendapat berita yang berimbang dan tidak dikendalikan oleh kepentingan pemilik modal,” katanya.
Ketua Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar Hari Puspita menegaskan, sebenarnya media telah bekerja dengan prinsip jurnalistik termasuk memenuhi asas keberimbangan. Diakuinya, masih banyak lembaga atau intansi pemerintah atau pelayanan publik yang alergi terhadap kritikan media karena masih belum memahami secara baik yang diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Saya pernah ke beberapa kantor pemerintah, ternyata mereka tidak mengetahui apa isi UU Pers, padahal berapa sih biaya untuk memfoto kopinya,” ujarnya.
Soal pemberitaan yang dikemas dalam bentuk advetorial yang dinilai media hanya jadi alat kepentingan pemasang iklan untuk pencitraan baik swasta atau lembaga pemerintah, kata dia, memang tak bisa dihindari. Hanya saja, sudah ada mekanisem dan ketentuan yang mengatur untuk berita berbayar seperti advetorial, dibedakan dengan berita lainnya sehingga publik bisa mengetahui. “Ini yang memang agak kabur sehingga kami ingin mendorong pimpinan media dan instansi pemerintah untuk membuat kesepakatan yang bisa diketahui pula oleh public,” ujarnya.
Soal berita advetorial itu, Kasubag Humas Pemkot Denpasa Dewa Rai mengakui, bahwa selama ini sulit menghapus kesan jika media lebih menyukai sisi kekurangan dan keburukan atas jalannnya pemerintahan yang ada selama ini. Jadi, ruang bagi berita atau informasi yang positif tentang jalannya pembangunan pemerintahan mau tidak mau memanfaatkan ruang yang diberikan media yakni advetorial. Hal itu, lebih pada upaya untuk memberikan keberimbangan informasi masyarakat bahwa ada sisi-sisi positif yang terus dan dilakukan pemerintah lewat program pembangunan yang dijalankan selama ini.
Cp suarabali.com.com
No comments:
Post a Comment